BAB 12
Kasus
arahan dosen
1. Contoh Kasus Hak Pekerja
Konflik Buruh Dengan PT Megariamas
Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan
Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) PT Megariamas Sentosa,
Selasa (23/9) siang ‘menyerbu’ Kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Nakertrans) Jakarta Utara di Jl Plumpang Raya, Kelurahan Semper Timur,
Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Mereka menuntut pemerintah mengambil tindakan
tegas terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka karena mangkir memberikan
tunjangan hari raya (THR).
Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa yang berlokasi di Jl Jembatan III
Ruko 36 Q, Pluit, Penjaringan, Jakut, datang sekitar pukuk 12.00 WIB. Sebelum
ditemui Kasudin Nakertrans Jakut, mereka menggelar orasi yang diwarnai aneka
macam poster yang mengecam usaha perusahaan menahan THR mereka. Padahal THR
merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4/1994 tentang THR.
“Kami menuntut hak kami untuk mendapatkan THR sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Dan jangan dikarenakan ada konflik internal kami tidak
mendapatkan THR, karena setahu kami perusahaan garmen tersebut tidak merugi,
bahkan sebaliknya. Jadi kami minta pihak Sudin Nakertrans Jakut bisa memfasilitasi
kami,” jelas Abidin, koordinator unjuk rasa ketika berorasi di tengah-tengah
rekannya yang didominasi kaum perempuan itu, Selasa (23/9) di depan kantor
Sudin Nakertrans Jakut. Sekedar diketahui ratusan buruh perusahaan garmen
dengan memproduksi pakaian dalam merek Sorella, Pieree Cardine, Felahcy, dan
Young Heart untuk ekspor itu telah berdiri sejak 1989 ini mempekerjakan sekitar
800 karyawan yang mayoritas perempuan.
Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya ratusan
buruh ini juga mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak sewenang-wenang
pada karyawan. Bahkan ada beberapa buruh yang diberhentikan pihak perusahaan
karena dinilai terlalu vokal. Akibatnya, kasus konflik antar buruh dan
manajemen dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Karena itu, pihak
manajemen mengancam tidak akan memberikan THR kepada pekerjanya.
Mengetahui hal tersebut, ratusan buruh PT Megariamas Sentosa mengadu ke
kantor Sudin Nakertrans Jakut. Setelah dua jam menggelar orasi di depan halaman
Sudin Nakertrans Jakut, bahkan hendak memaksa masuk ke dalam kantor. Akhirnya
perwakilan buruh diterima oleh Kasudin Nakertrans, Saut Tambunan di ruang rapat
kantornya. Dalam peryataannya di depan para pendemo, Sahut Tambunan berjanji
akan menampung aspirasi para pengunjuk rasa dan membantu menyelesaikan
permasalahan tersebut. "Pasti kami akan bantu, dan kami siap untuk menjadi
fasilitator untuk menyelesaikan masalah ini," tutur Sahut.
Selain itu, Sahut juga akan memanggil pengusaha agar mau memberikan THR
karena itu sudah kewajiban. “Kalau memang perusahaan tersebut mengaku merugi,
pihak manajemen wajib melaporkan ke pemerintah dengan bukti konkret,” kata Saut
Tambunan kepada beritajakarta.com usai menggelar pertemuan dengan para
perwakilan demonstrasi.
Sesuai peraturan, karyawan dengan masa kerja di atas satu tahun berhak
menerima THR. Sementara bagi karyawan dengan masa kerja di bawah satu tahun di
atas tiga bulan, THR-nya akan diberikan secara proporsional atau diberikan
sebesar 3/12X1 bulan gaji. Karyawan yang baru bekerja di bawah tiga bulan bisa
daja dapat tergantung dari kebijakan perusahaan.
Saut menambahkan, sejauh ini sudah ada empat perusahaan yang didemo
karena mangkir membayar THR. “Sesuai dengan peraturan H-7 seluruh perusahaan
sudah harus membayar THR kepada karyawannya. Karena itu, kami upayakan
memfasilitasi. Untuk kasus karyawan PT Megariamas Sentosa memang sedang ada
sedikit permasalahan sehingga manajemen sengaja menahan THR mereka. Namun,
sebenarnya itu tidak boleh dan besok kami upayakan memfasilitasi ke manajemen
perusahaan.
Lebih lanjut dikatakannya, untuk kawasan Jakarta Utara tercatat ada
sekitar 3000 badan usaha atau perusahaan di sektor formal. Untuk melakukan
monitoring, pihaknya menugaskan 15 personel pengawas dan 10 personel mediator
untuk menangani berbagai kasus seperti kecelakaan kerja, pemutusan hubungan
kerja, tuntutan upah maupun upah normatif dan THR. “Kami masih kekurangan
personel, idealnya ada 150 personel pengawas dan 100 personel mediator,” tandas
Saut Tambunan.
Jakarta – Perayaan Hari Buruh masih terus
dilakukan dengan aksi menuntut penghapusan kerja kontrak dan outsourcing.
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang berdemo yang di depan Istana
Merdeka meminta bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
menyampaikan tuntutannya. Sekitar 200 orang dari SPSI, berdemo di depan Istana
Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Selasa (3/5/2011). Mereka memakai seragam
yang sama berwarna biru dengan lambang sebuah roda di bagian depan. Beberapa
orang demonstran juga mengibarkan bendera SPSI. “Hidup kaum buruh! Hidup
serikat pekerja! Buruh bersatu!” teriak para demonstran. Beberapa spanduk juga
dibentangkan di depan Istana Merdeka bertuliskan “Buruh Berhak Dapat Jaminan
dan Pensiun” selebar 2X3 meter dan “Hapus Kerja Kontrak dan Outsourcing”.
Dari contoh kasus di atas, dapat dilihat
bahwa sampai detik ini buruh belum merasa sejahtera karena adanya praktek kerja
kontrak dan outcourcing. Walaupun mereka sudah bergabung atau bersatu dalam
serikat pekerja untuk menuntut hak mereka dari tahun ke tahun, pemerintah
seperti menutup mata, hati dan telinga akan hal ini. Peristiwa demo buruh yang
sering berlangsung ricuh menjadi suatu yang sudah biasa bagi pemerintah tanpa
berniat untuk menghilangkan tindakan seperti ini. Oleh karena itu, dengan
permasalahan buruh yang tidak kunjung usai, kita perlu mengkaji apa yang
sebenarnya menjadi permasalahan penuntutan dari buruh di negeri ini. Dengan
melihat secara nyata dapat diketahui bahwa ada pembedaan buruh kontrak atau
outsourcing dengan karyawan tetap yaitu dengan menggunakan seragam yang
dibedakan. Jika dikaji lebih dalam, pembedaan seperti ini merupakan bentuk
tindakan deskriminasi atas buruh. Tuntutan buruh untuk penghapusan sistem kerja
kontrak dan outsourcing ini tidak terlepas dari peranan Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan yang dianggap telah melegalisasi praktek
outsourcing di Indonesia. Hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut di bagian
pembahasan.
2. Contoh Kasus Iklan Tidak Etis
Sebanyak 56 Biro Iklan Melakukan
Pelanggaran Etika.
Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(PPPI) sedikitnya telah menegur 56 perusahaan iklan atas pelanggaran etika
selama dua tahun terakhir ini. Pelanggaran ini berupa penampilan iklan yang
superlative, yaitu memunculkan produk sebagai yang terbaik atau termurah. Iklan
superlative ini acapkali dibumbui kecenderungan menjatuhkan pesaing di pasaran.
“Jika semua bilang baik, termurah, ini akan membingungkan masyarakat dan
pelanggan,” ujar Ketua Badan Pengawas PPPI, FX Ridwan Handoyo kepada wartawan,
belum lama ini.
Dia mencontohkan iklan pada industri telekomunikasi. Setiap operator
telekomunikasi mengaku menawarkan tariff termurah. Bahkan ada iklan yang
menyebutkan bahwa produk paling murah meriah. Juga ada iklan produk kesehatan
atau kosmetik yang menyebutkan paling efektif. “Tapi semua iklan superlative
itu tidak didukung oleh bukti yang kuat. Jadi bisa merugikan masyarakat dan
pelanggannya,” tuturnya kemudian.
Surat teguran dilayangkan setelah Badan Pengawas PPPI menemukan dugaan
pelanggaran berdasarkan pengaduan masyarakat atau hasil pantauan, Kepada
perusahaan periklanan anggota PPPI, Badan pengawas PPPI melakukan peneguran
sekaligus meminta keterangan. Sedangkan kepada perusahaan non anggota, surat
teguran berupa imbauan agar menjunjung tinggi etika beriklan.
Ridwan menyebutkan dari 149 kasus yang ditangani Badan Pengawas PPPI,
tahun 2006 sebanyak 56n kasus dan 93 kasus di tahun 2007. Sebanyak 90 kasus
telah dinyatakan melakukan pelanggaran dan 44 kasus lainnya masih dalam
penanganan. Dari yang diputus melanggan etika, 39 kasus tak mendapatb respon
oleh agensi. Untuk itu BP PPPI menruskannya ke Badan Musyawarah Etika PPPI.
Jumlah perusahaan periklanan yang melakukan pelanggaran cukup banyak itu
ada kemungkinan terjadi akibat tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar.
Diakuinya, selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk Etika
Periklanan Indonesia. “Mungkin karena belum ada aturan hukum yang jelas,
pelanggaran tetap banyak,’ katanya.
3. Contoh Kasus Etika Pasar Bebas
Kasus Etika Bisnis Indomie Di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang
perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar
bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan
mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis
dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan
antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering
kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang
berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor
dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas
yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena
disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari
peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan
segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk
menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari
Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang
kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui
terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat
yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat
membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin.
Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi
maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat
berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa
benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam
mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam
batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar
nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain
kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional
tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan
merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya
untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara
berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Sumber :
http://innasyakusumadewi.blogspot.com/2014/01/contoh-kasus-hak-pekerja-contoh-kasus.html
http://yohanamangunsong.blogspot.com/2014/01/contoh-kasus-hak-pekerja-iklan-tidak.html
http://hikma-sid.blogspot.com/2014/01/contoh-kasus-hak-pekerja-contoh-kasus.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar